Ketika Lahan Sawah Menghilang

Bergulirnya masa ternyata membawa perubahan dalam kehidupan sehari-hari kita. Termasuk dalam bagaimana membajak lahan persawahan untuk persiapan penanaman padi. Kalau dulu petani kita menggunakan kerbau, sekarang mereka menggunakan traktor. Barangkali kita akan kehilangan (sebagian) romantika masa lalu tentang petani dan kerbaunya. Namun, penggunaan peralatan mekanis modern merupakaan sebuah keniscayaan. Sebagian orang mengatakan itu adalah tuntutan jaman.

Mana yang lebih baik bisa jadi akan menjadi perdebatan panjang ketika mereka yang berdebat berasal dari era yang berbeda. Tapi sebenarnya ada isu yang lebih mendasar daripada sekadar memperdebatkannya. Ini adalah tentang bagaimana memahami, menerima, dan lalu menyikapi perubahan. Dalam hal mengolah sawah, apapun yang digunakan tidak akan menjadi masalah ketika semuanya bermuara pada perihal menghasilkan sesuatu dari lahan sawah tersebut.

Dan ketika kita berbicara tentang lahan yang menghasilkan, terjadilah sebuah ironi ketika kita mendapati kenyataan bahwa lahan produktif di sekeliling kita semakin berkurang karena dijual pemiliknya. Dan sedihnya, uang hasil penjualan yang didapat ternyata digunakan untuk membeli barang-barang yang tidak produktif. Pada beberapa kasus, sepetak tanah sering berganti menjadi sepeda motor bagi anak sang pemilik. Dengan alasan: "Daripada anak saya tidak mau sekolah...." Atau: "Kasihan, teman-temannya sudah bersepeda motor...." Belum lagi: "Kalau bukan buat anak mau buat siapa lagi?..." Yah, pernyataan-pernyataan yang (menurut mereka) mengatasnamakan kasih sayang.

Maka mari kita cari jawaban dari pertanyaan: "Apakah kasih sayang (seperti yang mereka nyatakan) itu adalah segalanya?"