Mbak Sukini minta ijin tidak masuk hari ini. Rewangan (membantu hajatan) tetangga menikah, begitu katanya. Ya, memang terlihat janur melengkung terpasang di depan rumah tetangganya itu.
Janur melengkung memang sering menjadi tanda adanya acara pernikahan. Tetapi, barangkali, tidak banyak yang tahu apa makna darinya.
Dari kacamata budaya Jawa yang sarat dengan simbol, kata "janur" berasal dari sejane ning nur (keinginan akan datangnya pengetahuan). Sementara bentuk melengkung melambangkan sujudnya kita kepada Sang Pencipta yang menganugerahkan kehidupan. Adapun warna kuning melambangkan wening (bening, mewakili kesucian). Dengan demikian, janur melengkung menyiratkan sujud syukur yang dilakukan dengan penuh kesucian hati agar kita selalu dianugerahi pengetahuan. Pencerahan batin.
Selain janur melengkung, ciri lain hajatan pernikahan Jawa adalah dipasangnya "tarub" (taruban) di atas pintu masuk tempat acara digelar. Konon, adat taruban bermula ketika Ki Ageng Tarub (kemenakan Sunan Kalijaga) meminta nasehat kepada Sunan Kalijaga saat hendak menikahkan anaknya. Petuah Sunan Kalijaga itu diwujudkan dalam bentuk hiasan berupa anyaman daun kelapa. Anyaman itu dibuat dari pelepah kelapa yang dibagi dua dan masing-masing bagiannya disatukan dengan saling menganyam daun kelapanya. Apabila ujung anyaman tidak bertemu (karena panjang daun kelapa dalam satu pelepah bisa tidak sama), maka ujung anyaman itu diratakan dengan bingkai pring apus (bambu apus). Artinya adalah bahwa pernikahan merupakan pertemuan unsur-unsur pembentuk kedua mempelai (watak, keluarga, kebiasaan, dan lain-lain). Dan apabila ada unsur yang tidak bisa dipertemukan, maka unsur itu harus di-pupus. Diterima dengan segenap kelapangan hati.
Jadi, janur melengkung berwarna kuning itu tidak hanya sekadar untuk hiasan. Dia adalah sebuah pesan.